myselft

myselft
JoAnphotograf

Jumat, 03 Februari 2012

Kenapa Nelayan Miskin ???


PENGANTAR
Kemiskinan, kata yang tak bisa lepas dari Indonesia. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia masih ada pada taraf kemiskinan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kesejahtraan masyarakat Indonesia…? masalah yang masih belum mampu Negara Indonesia mengtatasinya. Entah kurang adanya perhatiankah, kurang pemberdayaankah, pengetahuankah, dari pemerintah pada masyarakatnya atau karna pemerintah sendiri kurang peka, pemerintah seakan menutup mata dengan masalah ini terbukti dengan bukannya, memperhatikan komoditi dalam negri malah mengimport komoditi dari luar belum lagi hutang internasional yang semakin melilit bangsa ini, kesejahtraan masih jauh dari bangsa ini.

Indonesia mempunyai konsep dalam menghitung garis kemiskinan, yang standarisasinya diberlakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluarannya, sehingga dapat dihitung Headcount Index. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) yang dilakukan secara terpisah yaitu pada daerah perkotaan dan pedesaan. 

Harian Pagi Siwalima, Ambon rabu, 04 Januari 2012 pada salah Headlinenya menuliskan bahwa 22,45% Penduduk Maluku masih miskin. Jumlah presentase penduduk miskin di Provinsi Maluku papa periode 2007-september 2011 tercatat 356.400 orang masih ada pada tarat kemiskinan (BPS, Provinsi Maluku 2011). Periode maret 2011-september 2011 penduduk miskin pada pedesaaan sebesar Rp.257.076/kapita/bulan, sedangkan di perkotaan sebesar Rp.288.414/kapita/bulan.

Sosok yang sangat mengambil peran dalam kemiskinan ini adalah nelayan. Mereka dengan pengetahuan seadanya, teknologi sederhana, serta marketing yang lemah, mereka berusaha mengangkat status sosial mereka melawan predikat yang di ‘cap’ miskin. BPS seperti yang ditulis diatas, mempunyai pendekatan tersendiri dalam menghitung kemiskinan. Padahal  nelayan dengan semua kekayaan alam yang ada, apakah mereka mengangap mereka miskin…? Muncul statement baru; “Kemiskinan itu Relatif”.

Pemerintah menilai mereka miskin, BPS pun juga sama, tapi belum tentu menurut nelayan, mereka miskin. Untuk itu tulisan ingin mengurai serta ingin menelaah, menjelaskan  lebih dalam tentang; “kenapa nelayan miskn”.
  

KENAPA NELAYAN MISKIN
Indonesia sebagai Negara kepulauan. yang terdiri dari gugusan pulau-pulau baik pulau dengan luas daratan yang besar maupun pulau-pulau terluar yang menjadi ujung tombak batas wilayah Negara. Pesisir menjadi sorortan wilayah yang tak bisa lepas dari Negara kepulaun ini. Wilayah yang masih mendapat pengaruh laut ini hampir seluruh masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun sangat ironi Laut sebagai lahan mereka belum mampu mengangkat status sosial mereka.
Nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau
variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.


Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel superstruktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin. Dengan kata lain affirmative action’s, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial ekonomi masyarakat dan keluarga. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.

Kemiskinan juga diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin.
Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimens, yaitu :
  • Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  • Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
  • Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.

Mentri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad mengatakan pada harian neraca ekonomi senin, 9 januari 2012. Nelayan miskin yang hidup menyebar di seluruh pesisir pantai dan pulau-pulau Indonesia telah mencapai 30.000 jiwa. Mereka berada di sekitar 10.000 desa miskin. Dengan angka-angka ini pemeritah seakan tidak becus menanggulanginya. Kebijakan-kebijakan yang ada hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu padahal pada arah kebijakan umum pada misinya yang ketujuh yaitu tentang; Penanggulangan Kemiskinan dan Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat, maka ditetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan sebagai berikut:
1.    Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.  Sasarannya adalah (a). Meningkatkan pendapatan masyarakat kategori miskin  (b). mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin terutama menyangkut kebutuhan dasar.

2.    Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Miskin.  Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan status sosial ekonomi keluarga pra sejahtera hingga memiliki derajat kehidupan yang layak diatas garis kemiskinan.  Sasarannya adalah meningkatnya jumlah dan mutu pelayanan dan rehabilitasi kesejahtraan sosial termasuk bagi lanjut usia terlantar, penyandang cacat, dan anak terlantar, untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang. Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Ditambah dengan standart dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan konsep memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan metode menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu; Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).dengan perhitungan yang dilakukan secara terpisah yaitu pedesaaan dan perkotaan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disertakan dengan 2100 kalori/kapita.hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Garis kemiskinan bukan makanan  (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Berikut penyebab nelayan miskin;
1)    Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.
2)    Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3)    Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah.
4)    Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
5)    Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan
Padahal Di beberapa wilayah pesisir Indonesia terdapat kepemilikan bersama (communal property) oleh masyarakat nelayan, yang dicerminkan dengan kegiatan pengelolaan SDKP berbasiskan kearifan-kearfian lokal atau Hak Ulayat Laut (HUL). Kearifan-kearifan lokal (HUL) yang ada seperti;  Jamu laut di Sumatera Utara, Sasi di Maluku, Panglima Laot di Nangroe Aceh Darussalam, Rumpon  di Lampung, Kelong di Riau, Awig-awig di Bali dan Lombok, Rompong di Sulawesi Selatan  dan beberapa HUL yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Yang masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu, Walau kadanng mulai memudar.
            Selain itu ada penyebab lainya yaitu hubungan patron klien sebuah hubungan yang masih sulit diartikan apakah itu suatu hubungan simbiosis mutualisme atau parasitisme…? Sebagaimana kita ketahui tidak semua nelayan dengan keterbatasan modal, mereka memiliki perahu sendiri. Disitu hadirlah tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.
Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).
Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.
Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.
Dengan keadaan nelayan yang terpuruk hadir disini sosok yakni isrti nelayan yang ingin mengangkat diri dari garis batas kemiskinan dengan kodratnya Yang selalu dikonstruksi secara sosial maupun budaya untuk menjadi ”kanca wingking” yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (1994) geraknyapun dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Mereka hadir dengan peran produktif tanpa meninggalkan peran reproduktif dengan modal sosial mereka menopang ekonomi keluarga (di Maluku dikenal dengan nama Jibu-jibu) namun rasanya masih perlu adaya pemberdayaan dari pemerintah untuk lebih jeli melihat kontribusi dari peran wanita ini.
Untuk itu sudah seharusnya kita menuntaskan masalah ini, jangan terus dibiarkan terus berlarut-larut, hanya akan menambah penderitaan masyarakat kalangan bawah secara umum terkhususnya kaum nelayan. Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah.
2.      Keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan.
3.      Keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial.
4.      Keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.
Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut;
1.       Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.
2.       Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.
3.       Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.
4.       Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.
5.       Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global. Semoga program-program pemerintah yang telah dilaksanakan seperti; Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) oleh Mandiri, KUD (Koperasi Unit Desa), dan didukung dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat.
PENUTUP
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan  dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri), penegasan dan penegakan  hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.


DAFTAR PUSTAKA


Harian Pagi Siwalima Ambon/rabu/04/januari/2012/22,45 persen penduduk Maluku miskin.htm

Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”. www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43.
Bakara, Evin H. “Antara WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-global.com. 15-05-2009 10:39.
Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.     (artikel)
Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.    (artikel)
Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.
Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.   (artikel)
Solihin, Akhmad. “Mencermati Kontraversi HP3”. http://ikanbijak.wordpress.com. April 18, 2008.op of Form
www.neracaekonomi.com/ Nelayan Miskin Diperkirakan Capai 30.000 Orang/09/01/201.htm

http//:suryaonline/blogspot/ Nelayan Miskin Seperempat Jumlah Penduduk Miskin Indonesia.htm














Kamis, 02 Februari 2012

Kuliah Bersama Yashinori Katori "Duta Besar Jepang Untuk Indonesia"

                                                                                    Mempublikasikan, Menyatakan Hubungan hubungan bilateral Jepang Indonesia, telah ada sejak lama




Kuliah  Bersama  Yashinori Katori
selama 30menit @Aula Rektorat Universitas Pattimura