PENGANTAR
Kemiskinan,
kata yang tak bisa lepas dari Indonesia. Hampir sebagian besar penduduk
Indonesia masih ada pada taraf kemiskinan. Siapa yang harus bertanggung jawab
atas kesejahtraan masyarakat Indonesia…? masalah yang masih belum mampu Negara Indonesia
mengtatasinya. Entah kurang adanya perhatiankah, kurang pemberdayaankah,
pengetahuankah, dari pemerintah pada masyarakatnya atau karna pemerintah
sendiri kurang peka, pemerintah seakan menutup mata dengan masalah ini terbukti
dengan bukannya, memperhatikan komoditi dalam negri malah mengimport komoditi
dari luar belum lagi hutang internasional yang semakin melilit bangsa ini,
kesejahtraan masih jauh dari bangsa ini.
Indonesia
mempunyai konsep dalam menghitung garis kemiskinan, yang standarisasinya
diberlakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Dengan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluarannya, sehingga dapat dihitung Headcount Index. Metode yang digunakan
adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) yang dilakukan secara
terpisah yaitu pada daerah perkotaan dan pedesaan.
Harian
Pagi Siwalima, Ambon rabu, 04 Januari 2012 pada salah Headlinenya menuliskan
bahwa 22,45% Penduduk Maluku masih miskin. Jumlah presentase penduduk miskin di
Provinsi Maluku papa periode 2007-september 2011 tercatat 356.400 orang masih
ada pada tarat kemiskinan (BPS, Provinsi
Maluku 2011). Periode maret 2011-september 2011 penduduk miskin pada
pedesaaan sebesar Rp.257.076/kapita/bulan, sedangkan di perkotaan sebesar
Rp.288.414/kapita/bulan.
Sosok
yang sangat mengambil peran dalam kemiskinan ini adalah nelayan. Mereka dengan
pengetahuan seadanya, teknologi sederhana, serta marketing yang lemah, mereka
berusaha mengangkat status sosial mereka melawan predikat yang di ‘cap’ miskin. BPS seperti yang ditulis
diatas, mempunyai pendekatan tersendiri dalam menghitung kemiskinan.
Padahal nelayan dengan semua kekayaan
alam yang ada, apakah mereka mengangap mereka miskin…? Muncul statement baru; “Kemiskinan itu Relatif”.
Pemerintah
menilai mereka miskin, BPS pun juga sama, tapi belum tentu menurut nelayan,
mereka miskin. Untuk itu tulisan ingin mengurai serta ingin menelaah,
menjelaskan lebih dalam tentang; “kenapa nelayan miskn”.
KENAPA
NELAYAN MISKIN
Indonesia sebagai Negara
kepulauan. yang terdiri dari gugusan pulau-pulau baik pulau dengan luas daratan
yang besar maupun pulau-pulau terluar yang menjadi ujung tombak batas wilayah
Negara. Pesisir menjadi sorortan wilayah yang tak bisa lepas dari Negara
kepulaun ini. Wilayah yang masih mendapat pengaruh laut ini hampir seluruh
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun sangat ironi Laut
sebagai lahan mereka belum mampu mengangkat status sosial mereka.
Nelayan yang
mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru
berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling
terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada
daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin
di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan
dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan
dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan
mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
Kemiskinan yang merupakan indikator
ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal
utama, yaitu (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan
(3) kemiskinan kultural.
Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau
variabel eksternal di luar individu.
Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat,
ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan,
ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya
alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik.
Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini
maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial
ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa
keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup
nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan
super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan
makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel
superstruktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan
hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam
proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit
diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari
pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena
kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat
sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan
super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat
maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan yang
bias bagi kepentingan masyarakat miskin. Dengan kata lain affirmative
action’s, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Kemiskinan
kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang
melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk
individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau
tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab
kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya,
kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada
panutan. Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh
panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous)
sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini.
Penelitian di beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa
golongan agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan
masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial
ekonomi masyarakat dan keluarga. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat
kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena
faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta
teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan
tetap dalam kemiskinannya.
Kemiskinan
juga diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan
tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata
berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa
persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini,
kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang
menjadi miskin.
Menurut
teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang
miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau
tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif
masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.Secara garis besar, dapat
dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimens, yaitu
:
- Dimensi Ekonomi
Kurangnya
sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik
secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
- Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan
jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar
produktivitas seseorang meningkat.
- Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya
derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.
1. Kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan. Tujuan kebijakan ini
adalah untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi dan pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat miskin dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Sasarannya adalah (a). Meningkatkan
pendapatan masyarakat kategori miskin
(b). mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin terutama menyangkut
kebutuhan dasar.
2. Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Miskin.
Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan status sosial ekonomi
keluarga pra sejahtera hingga memiliki derajat kehidupan yang layak diatas
garis kemiskinan. Sasarannya adalah
meningkatnya jumlah dan mutu pelayanan dan rehabilitasi kesejahtraan
sosial termasuk bagi lanjut usia terlantar, penyandang cacat, dan anak
terlantar, untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan
sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan
golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu
fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan
menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah
diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum
tanpa memandang status dan derajat seseorang. Ironisnya,
lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan
hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum
antara si kaya dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita
tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar
Tekanan
terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan
di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan
karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir,
namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan
lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan
yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari
kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih
jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya
perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan
ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah
pesisir itu sendiri.
Ditambah
dengan standart dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan konsep memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach)
dengan metode menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen
yaitu; Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan
(GKBM).dengan perhitungan yang dilakukan secara terpisah yaitu pedesaaan dan
perkotaan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disertakan dengan 2100 kalori/kapita.hari. Paket komoditi
kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur, dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Garis kemiskinan bukan
makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan.
Masalah
kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk
menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi
secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang
menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir
ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara
lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di
samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi,
teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama,
kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat
salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Berikut penyebab nelayan
miskin;
1)
Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi
disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu
diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim
paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat
dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran
setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.
2)
Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus
dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini
teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami
proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh
bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi
pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang
tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3)
Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas
oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal
kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan
mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu
senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian
nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin
semakin lemah.
4)
Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat
Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual
hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga
pasaran.
5)
Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat
tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin
ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap
sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di
pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar
Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di
lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan
semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut
‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan
kondisi pas-pasan
Padahal Di beberapa wilayah pesisir Indonesia terdapat
kepemilikan bersama (communal property) oleh masyarakat nelayan, yang
dicerminkan dengan kegiatan pengelolaan SDKP berbasiskan kearifan-kearfian lokal atau Hak Ulayat Laut (HUL). Kearifan-kearifan lokal (HUL) yang
ada seperti; Jamu laut di Sumatera Utara, Sasi di Maluku,
Panglima Laot di Nangroe Aceh Darussalam, Rumpon di Lampung, Kelong di Riau, Awig-awig di Bali
dan Lombok, Rompong di Sulawesi Selatan
dan beberapa HUL yang ada di wilayah Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Yang masih
efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu, Walau kadanng mulai memudar.
Selain itu ada penyebab lainya yaitu
hubungan patron klien sebuah hubungan yang masih sulit diartikan apakah itu
suatu hubungan simbiosis mutualisme atau parasitisme…? Sebagaimana kita ketahui
tidak semua nelayan dengan keterbatasan modal, mereka memiliki perahu sendiri.
Disitu hadirlah tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau
“nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan
biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap
seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang
menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan.
Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun
ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai
faktor produksi tak bisa jadi agunan
Indikator
ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan,
banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang
cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi
terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan
kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang
dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil
tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga
ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.
Dalam perspektif struktural kemiskinan
nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan
utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga
terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya
perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak
dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah
masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang
berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional
(traditional fishing ground).
Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana
ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka
tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa
pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan.
Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu
bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik
seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam
artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu
barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang
dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh
ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem
bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu
kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.
Namun
berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola
patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang
penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka
selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa
dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian,
sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam
kehidupan mereka.
Dengan
keadaan nelayan yang terpuruk hadir disini sosok yakni isrti nelayan yang ingin
mengangkat diri dari garis batas kemiskinan dengan kodratnya Yang selalu dikonstruksi secara sosial maupun
budaya untuk menjadi ”kanca wingking” yang hanya berkutat pada berbagai urusan
rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (1994) geraknyapun dibatasi dalam
lingkup rumah tangga. Mereka hadir dengan peran produktif tanpa meninggalkan
peran reproduktif dengan modal sosial mereka menopang ekonomi keluarga (di
Maluku dikenal dengan nama Jibu-jibu) namun rasanya masih perlu adaya
pemberdayaan dari pemerintah untuk lebih jeli melihat kontribusi dari peran
wanita ini.
Untuk
itu sudah seharusnya kita menuntaskan masalah ini, jangan terus dibiarkan terus
berlarut-larut, hanya akan menambah penderitaan masyarakat kalangan bawah
secara umum terkhususnya kaum nelayan. Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat
dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari
masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut
:
1.
Keterpaduan
sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan
nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang
perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh
secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah.
2.
Keterpaduan
keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan
program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian,
tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan.
3.
Keterpaduan
masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar
permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat
komprehensif, dan tidak parsial.
4.
Keterpaduan
lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan
(lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan
efesien.
Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping
kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan.
Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut;
1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan
dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari
kegiatan.
2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman),
tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan
ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang
mendukung penanganan kemiskinan nelayan.
3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan,
dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas
siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa
lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan
jelas.
4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan
antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan,
dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan
stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.
5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus
dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan
menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan.
Selanjutnya
melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi
pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan
masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan
penataan kemitraan global. Semoga program-program pemerintah yang telah
dilaksanakan seperti; Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) oleh Mandiri,
KUD (Koperasi Unit Desa), dan didukung dengan adanya Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan
Program Pro-Rakyat.
PENUTUP
Kemiskinan
merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan
kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum
nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor
kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah
terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan
jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan dan kawal
tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas
kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga
termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam
negeri), penegasan dan penegakan hukum perairan dan kelautan, sampai
pemanfaatan berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak
“pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa
sebagai satu negara maritim terbesar dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan
sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya
ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena
jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya
lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh.
Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah,
bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat.
Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua
wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa
disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di
kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir
yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus
yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk
mensejahterakan para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Harian
Pagi Siwalima Ambon/rabu/04/januari/2012/22,45
persen penduduk Maluku miskin.htm
Andini, Ayu. “Indonesia
Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”. www.indofamilynet.com,
04-05-2009 18:43.
Bakara, Evin H. “Antara
WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-global.com.
15-05-2009 10:39.
Himti, Ibrahim. “Wilayah
Laut Indonesia”. (artikel)
Marbun, Leonardo. “Kenaikan
BBM dan Kemiskinan Nelayan”. (artikel)
Samhadi,
Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan
Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.
Solihin, Akhmad. “Musim
Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.
(artikel)
www.neracaekonomi.com/ Nelayan Miskin Diperkirakan Capai 30.000 Orang/09/01/201.htm